APPKSI (Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia) – Persetujuan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) membuka akses pasar baru untuk produk- produk Indonesia di sektor pertanian dan perkebunan, perikanan, otomotif dan elektronik, makanan dan minuman, hingga sektor bahan kimia dan mesin di pasar RRT, Jepang, dan Korea Selatan.
Indonesia akan mengoptimalkan manfaat Persetujuan RCEP dengan mendorong pendirian Sekretariat RCEP di Jakarta. Usulan ini juga telah mendapat dukungan dari para perwakilan negara anggota RCEP dalam pertemuan pertama RCEP Joint Committee. Pemerintah optimis bahwa Jakarta, dan Indonesia, memiliki keunggulan sebagai lokasi Sekretariat RCEP dalam aspek operasional, legal dan diplomatik, serta politik dibandingkan kota atau negara lain di kawasan.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memproyeksikan RCEP memiliki banyak keuntungan bagi Indonesia karena akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 0,07% pada 2040.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, peningkatan PDB akan didorong oleh kenaikan ekspor yang mencapai US$ 5,01 miliar. “Surplus perdagangan Indonesia akan ikut mengalami kenaikan menjadi US$ 979,3 juta atau 2,5 kali lipat daripada jika Indonesia tidak bergabung dalam RCEP,” kata dia dalam konferensi pers mengenai RCEP Indonesia-Singapura, Selasa (30/8/2022).
Lebih lanjut, Airlangga mengapresiasi langkah DPR RI yang telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Kawasan atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) menjadi Undang-Undang.
Persetujuan itu diputuskan dalam Rapat Paripurna ke-3 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023, pada Selasa (30/8/2022) di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta. Rapat dipimpin langsung oleh Wakil Ketua DPR, Lodewijk F Paulus.
Pasca disetujuinya perjanjian tersebut, Indonesia akan dapat menikmati berbagai fasilitas yang disepakati dalam RCEP. Perjanjian RCEP beranggotakan 10 negara anggota ASEAN dengan lima negara mitra dagang, yakni Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia.
“Persetujuan RCEP yang merupakan inisiatif Indonesia pada Keketuaan ASEAN 2011 lalu merupakan blok perdagangan terbesar di dunia. Dalam hal ini mencakup sekitar 27% dari perdagangan dunia, 29% dari Produk Domestik Bruto dunia, 30% dari populasi dunia, serta 29% dari foreign direct investment dunia,” tegasnya.
Adapun dalam catatannya, negara-negara yang tergabung dalam Persetujuan RCEP sendiri merupakan negara-negara mitra utama Indonesia dalam perdagangan dan investasi.
Dalam hal ini mencakup setidaknya 60% dari total ekspor senilai US$ 132,6 miliar dan 71% dari total impor senilai US$ 130,6 miliar, serta 47% dari total investasi asing senilai US$ 18,82 miliar pada tahun 2021.
Lebih lanjut, Persetujuan RCEP memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan perjanjian dagang lain yang telah dimiliki Indonesia.
Pertama, melalui Persetujuan RCEP menyederhanakan serta memberikan kepastian aturan perdagangan bagi negara-negara anggotanya. “RCEP juga memperkenalkan Regional Content Value yang akan semakin memudahkan pembentukan Regional Production Hub,” jelas Airlangga.
Kemudian manfaat lainnya, Indonesia akan memperoleh perluasan dan pendalaman Regional Value Chains yang sudah terbentuk di bawah ASEAN+1 FTA dengan biaya produksi yang lebih efisien. Dengan demikian, produsen-produsen Indonesia dapat memperoleh nilai tambah yang semakin besar dari aktivitas ekspor.
Kemudian manfaat ketiga, melalui Persetujuan RCEP juga mendorong peningkatan investasi asing yang akan masuk ke Indonesia. “Dengan terbentuknya iklim usaha yang lebih kondusif, Indonesia berpeluang mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi serta membuka lapangan kerja baru,” imbuhnya.
Keunggulan yang keempat, Persetujuan RCEP memuat beberapa fitur penting lainnya, meliputi penghapusan substansi yang dapat menghambat perdagangan jasa, dan terkait dukungan bagi UMKM berupa tercipta ekosistem di e-commerce serta peningkatan kapasitas untuk pemanfaatan digitalisasi.
RCEP juga dapat melindungi penegakan hukum hak kekayaan intelektual, serta mempersempit kesenjangan pembangunan melalui kerja sama teknis dan ekonomi.