APPKSI (Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia) – Plasma dirancang di era Orde Baru, tujuannya memberdayakan masyarakat sekitar perkebunan sehingga mereka turut menikmati hasil kebun dan mengangkat perekonomian. Tapi seiring tahun berlalu, aturan justru memihak pada konglomerasi.
Banyak keluarga di Indonesia mengaku menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan-perusahaan sawit yang menawarkan mimpi akan kehidupan yang lebih baik.
Namun investigasi oleh BBC, The Gecko Project, dan Mongabay mengestimasikan masyarakat dapat kehilangan triliunan rupiah per tahun karena, mereka menuduh, perusahaan-perusahaan sawit ini tidak memenuhi kewajiban hukumnya untuk menyediakan plasma.
Banyak yang kemudian mengaku merasa terperangkap dalam skema yang eksploitatif dengan pembagian hasil keuntungan yang tidak proporsional, dan terlilit utang dari bank.
Siti Maninah membungkukkan punggung tuanya. Tangannya kotor berdebu, setelah seharian mengais permukaan tanah untuk mengumpulkan ‘brondolan’ – butiran-butiran sawit berwarna merah cerah yang jatuh dari pohonnya.
“Dikumpul… agak banyak baru dijual untuk beli beras, dapat satu atau dua canting. Untuk makan anak-anak,” ujar Siti yang usianya sudah menginjak 60 tahun.
Dia harus mencari rontokan buah sawit di tanah orang lain, sementara tanahnya sendiri – lahan yang dia katakan milik sukunya, Suku Anak Dalam atau Orang Rimba, secara turun-temurun di Tebing Tinggi, Sumatra Selatan – tak bisa lagi diinjaknya.
Lebih dari 20 tahun lalu, menurut warga, sebuah perusahaan sawit mendekati Orang Rimba dengan janji “meningkatkan kesejahteraan”.
Jika Orang Rimba menyerahkan tanahnya, kata mereka, perusahaan akan mengembalikan lagi sebagian lahannya dengan telah ditanami sawit.
Suku Anak Dalam mengatakan mereka dijanjikan bisa memanen buah sawit dari tanah itu, dan hasilnya dijual kembali ke perusahaan. Ini berarti, pikir Orang Rimba kala itu, pekerjaan dan uang.
Siti Maninah tak menyangka, bertahun-tahun setelahnya, mereka justru terpaksa meninggalkan tanah mereka sendiri, tanpa rumah dan tanpa rupiah yang dihasilkan dari perkebunan sawit yang telah menggusur tempat tinggal mereka.
‘Inti yang mengembangkan plasma’
Sebelumnya, hanya perusahaan swasta dan BUMN – eks nasionalisasi perkebunan kolonial – yang mengelola perkebunan sawit. Hingga pada 1970-an pemerintah Indonesia membuat inisiatif baru.
Ide ini terinspirasi dari model sel biologis, di mana sebuah sel memiliki dua bagian, inti dan plasma. Dengan skema kemitraan, perusahaan bertindak sebagai ‘inti’ sementara ‘plasma’ adalah petani sekitarnya.
‘Inti’ diharapkan dapat membantu ‘plasma’, mempersiapkan dan membina plasma dalam memelihara, mengelola dan menampung hasil kebun plasma.
“Mereka diberikan lahan seluas 2,5 hingga 3 hektare untuk dijadikan plasma,” kata Sri Palupi, peneliti dari lembaga riset The Institute of Ecosoc Rights.
Namun kehidupan di perkebunan sangat berat. Banyak petani yang kemudian terlilit utang untuk biaya membuka kebun, dan mendapati keuntungan dari 2-3 hektare tak cukup untuk menutup rugi, menurut para akademisi yang mempelajari skema awal plasma. Banyak petani pulang kembali ke desa asal.
Namun plasma juga bisa mengubah kehidupan, terutama bagi mereka yang berhasil melewati tahun-tahun berat di awal kebun dibuka.
Melalui PIR-Trans, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di situsnya, petani yang berhasil mengelola kebun plasmanya, mulai dapat mengembangkan kebun secara mandiri dan akhirnya lepas dari kerja sama dengan perusahaan.
“Bila skema ini diterapkan dengan tepat, di masa lalu plasma dapat membantu memberantas kemiskinan,” kata Idsert Jelsma, konsultan lingkungan yang fokus pada riset tentang perkebunan sawit untuk petani kecil selama lebih dari sepuluh tahun.
Saat musim panen tiba mereka akan mendapatkan untung hingga tiga kali UMR. Masyarakat bisa membangun rumah, membeli mobil, dan menyekolahkan anak-anaknya hingga universitas.
“Plasma adalah alat yang bagus untuk di masa lalu untuk membantu masyarakat, dan bisa terus begitu.”
Terlebih, ribuan petani masih bergantung pada kerja sama kemitraan inti-plasma.
Namun dalam perjalanannya hingga sekarang, Sri Palupi mengilustrasikan, pembagian hasil dalam skema plasma semakin mengecil.
alam skema KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota), pemilik tanah bersertifikat akan menyerahkan lahannya, dengan skema yang “tergantung kebaikan perusahaan”, kata Sri, “Ada yang 40-60, 30-70, ada juga yang enggak jelas.”
“Kelahiran program KKPA memperlihatkan kewajiban yang jauh lebih longgar bagi perusahaan,” tukas Pantja.
Sementara di skema Revitalisasi, ujar Sri, pembagian hasil kebun sawit untuk petani plasma “kebanyakan kurang dari 20 persen.”
“Semakin ke sini semakin buruk. Dan yang paling buruk adalah Revitalisasi. Ini skema abal-abal, karena kebunnya ada, tapi petani tidak terima hasilnya,” tukas Sri. “Makin ke sini, justru semakin merugikan masyarakat.”
‘Tidak ada lahan lagi’
Selama lebih dari satu dekade, berbagai laporan mengungkap perusahaan perkebunan sawit merebut lahan masyarakat adat dan membabati hutan hujan. Segala publikasi ini mendorong industri sawit melakukan reformasi.
Kebanyakan produsen barang konsumsi besar di dunia kini mengeklaim telah memiliki aturan ketat tentang menghindari deforestasi dan “mengeksploitasi” masyarakat lokal.
Industri sawit di Indonesia secara umum membantah ada persoalan besar terkait plasma.
Alasan yang sering dikemukakan mengapa perusahaan ‘susah’ menyediakan plasma adalah tiada lagi lahan yang dapat dibuka untuk perkebunan sawit, meskipun areal perkebunan mereka sendiri telah terbentang hingga ribuan kilometer persegi di seluruh Indonesia.
“Ini kita tidak bisa membangun plasma karena areal plasma itu ada di kawasan hutan,” kata Eddy Martono dari GAPKI menirukan laporan perusahaan sawit anggota GAPKI kepada organisasinya.
Jika “dipaksa membangun”, lanjut Eddy, perusahaan akan melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. “Itu pidana,” ujar dia.
Namun perusahaan sawit memiliki penafsiran berbeda-beda tentang aturan 2007 ini.
Dari 18 pemilik perusahaan sawit yang kami hubungi, hanya tiga perusahaan yang menjawab pertanyaan kami terkait penafsiran aturan plasma.
Mereka mengaku menafsirkan aturan 2007 sebagai ‘masyarakat berhak mendapatkan seperlima dari apa pun yang ditanam perusahaan’.
Dalam sebuah kontrak perjanjian antara perusahaan sawit dengan warga di Papua, tertulis bahwa masyarakat akan mendapatkan 20% dari “lahan yang diusahakan”, sesuai dengan aturan 2007.
Namun perusahaan sawit lain bisa jadi menafsirkan aturan ini berbeda: bahwa mereka dapat mengelola semua areal lahan yang telah memiliki izin pemerintah, kemudian membebankan masyarakat untuk mencari lahan lain sebagai plasma.
Padahal, masyarakat telah menyerahkan semua tanah mereka kepada perusahaan dan menaruh harap akan mendapatkan plasma. Saat mereka diberitahu bahwa mereka harus mencari tanah lagi, tak ada lahan yang tersisa.
“Jadi setiap masyarakat menuntut plasma, lalu perusahaan bilang, ‘Oke, carikan kami lahan’. Dicarikan lahan betul-betul itu. Tapi, itu tidak pernah cukup.
“Mereka selalu minta lahan terus, lahan untuk plasma, lahan untuk plasma. Nah, masyarakat bertanya, lahan [plasmanya] mana?” tukas Djayu Sukma Ifantara, dari Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), sebuah organisasi advokasi hak-hak adat.
Ini karena, menurut pengamat lainnya, perusahaan dapat mengalokasikan plasma di lokasi berbeda dari lahan serahan masyarakat.
“Masyarakat memberikan tanah yang [lokasinya] strategis, tukarannya itu bukan di tanah yang masyarakat serahkan. Tapi diberikan di lokasi yang lain,” kata Inda Fatinaware dari Sawit Watch.
“Perusahaan berkata, ‘Kita tidak bisa memberikan 20 persen karena tidak ada lahan lagi’,” kata Tania Li, profesor antropologi dari Universitas Toronto yang melakukan riset tentang pedesaan di Indonesia.
“Terang saja, karena perusahaan sawit sudah mengambil semua lahan yang ada. Mereka memiliki perkebunan sawit yang saling berdempetan.”
Marselinus Andri dari Serikat Pekerja Kelapa Sawit (SPKS) juga beranggapan perusahaan seharusnya menyisihkan lahan berizin Hak Guna Usaha (HGU) sebagai plasma, alih-alih mencari lagi tanah di luar itu.
“Maka kalau dia, secara aturan adalah ‘lahan yang diusahakan’, maka lahan itu sebenarnya sumbernya dari HGU. Bukan dari penyerahan lahan masyarakat,” kata Andri.
Meski begitu, perdebatan ini bisa jadi sia-sia karena Undang-Undang Cipta Kerja. Di dalamnya, disebutkan bahwa perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat “sekitar seluas” 20% dari luasan total, dengan areal di luar HGU atau Pelepasan Kawasan Hutan.
“Kemudian di dalam turunan UU Cipta Kerja, di Permentan Nomor 18 Tahun 2021, jelas di situ fasilitas pembangunan kebun masyarakat tidak harus membangun kebun [plasma]. Bisa dalam kegiatan lain yang produktif,” ujar Eddy Martono dari GAPKI.
Eddy merujuk pada pasal 7 peraturan tersebut, yang memberikan opsi untuk “bentuk kegiatan lainnya” sebagai usaha produktif perkebunan. Namun Inda, tak sepakat.
“Hakim MK menganggap UU Cipta Kerja perlu diperbaiki. Artinya, UU ini bermasalah dan belum bisa menjadi rujukan secara hukum. Karena ini bermasalah, kok bisa, menjadi rujukan dalam aturan-aturan turunannya?” sebut dia.
Satu Atap yang ‘banyak masalah’
“Menanam sawit ini kan cukup berat, terutama di daerah dataran rendah. Kalau kita mengolah sendiri, kurang mampu,” ungkap Laurensius Asia, warga Desa Teluk Bakung, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. “Maka saat ada tawaran [kemitraan] dari perusahaan [sawit], kami bersedia.”
Perusahaan sawit itu, kata dia, menawarkan kemitraan plasma dengan pola ‘satu atap’ kepada Laurensius dan warga desa pada 2010. Di seluruh Indonesia, setelah 2007, satu atap menjadi salah satu pola kemitraan yang paling banyak diterapkan.
Dalam pola ini, warga tidak memiliki peran aktif. Perusahaan akan mempekerjakan tenaga untuk merawat kebun plasma, dan warga diberitahu mereka akan menerima keuntungan dari sawit berupa uang. Ini dengan logika, perusahaan lebih bisa mengelola perkebunan dengan lebih efisien ketimbang warga.
“Di sini pemerintah [Indonesia] menjadi sangat neoliberal dan membiarkan perusahaan menjalankan apa yang mereka mau,” kata Lesley Potter, periset di Universitas Nasional Australia yang fokus pada Indonesia.
“Tentu saja perusahaan menjalankan dengan senang hati, sampai mereka memutuskan untuk menyingkirkan petani plasma.”
Kritik utama pada skema kemitraan ini adalah kurangnya transparansi, menurut Sri Palupi, perusahaan menjadi “cenderung manipulatif”.
Petani plasma – kerap kali diwakili oleh koperasi – akan membuat pinjaman bank, sementara perusahaan berperan sebagai penjamin (avalis). Setelah pinjaman bank turun, perusahaan mengelola dana itu untuk mengolah kebun plasma. Petani yang harus membayar kredit ke bank.
Tuduhan soal transparansi ini ditepis oleh GAPKI.
“Justru [satu atap] ini lebih terkontrol. Semua transparan, kok. Harga transparan, semua transparan. Kita tidak bisa tiba-tiba menentukan harga sendiri. Tidak ada yang tidak transparan di situ,” kata Eddy Martono, Sekjen GAPKI.
Namun sebagian petani, setidaknya yang kami temui, mengatakan biaya untuk urusan lain di perkebunan tak dijelaskan dengan terang-benderang. Termasuk, urusan jumlah utang-piutang ke bank.
“Untuk infrastruktur, termasuk biaya-biaya seluruhnya menjadi utang. Nanti dipotong [dari keuntungan] setelah tanaman berhasil,” papar Laurensius, petani plasma di Teluk Bakung, menjelaskan isi perjanjian yang ditandatanganinya dengan perusahaan sawit.
Palmdale, perusahaan yang beroperasi di Teluk Bakung itu, tidak merespons permintaan wawancara kami.
Pola sama juga umum dilakukan di tempat-tempat lain, menurut Inda Fatinaware dari Sawit Watch.
“Dua puluh persen itu terpotong lagi, ada jalan-jalan, sarana-sarana lain. Jadi sebenarnya perusahaan itu tidak memfasilitasi modal. Semua dibebankan ke petani, yang tidak diinformasikan di awal,” papar Inda.
Di sejumlah tempat, imbuh Inda, warga bahkan tidak diberitahu berapa utang mereka ke bank.
“Petani itu mencicil terus. Tidak diinformasikan, sampai kapan dia harus membayar utang. Sehingga banyak dari plasma yang sudah sekian tahun, belum selesai hutangnya,” sebut Inda.
Kami mengirim tim untuk menemui 15 kelompok masyarakat di enam provinsi, di mana perusahaan sawit menetapkan kerja sama plasma dengan skema ‘satu atap’.
Di semua tempat yang kami datangi, warga mengatakan tidak memiliki akses informasi tentang bagaimana pembayaran bagi hasil dihitung, atau kapan utang mereka akan lunas.
Data dokumen finansial yang kami peroleh dari koperasi plasma Teluk Bakung menunjukkan per 2019, petani berhutang sebesar Rp262 miliar atau nyaris Rp93 juta per hektare.
Di Desa Antutan, Bulungan, Kalimantan Utara, warga melalui koperasi plasma berutang Rp8 miliar ke bank, atau Rp67 juta per hektare. Hasil panen sawit hingga bertahun-tahun mendatang, habis untuk mencicil hutang.
“Sampai kita mati, mungkin belum tahu hasil plasma itu bagaimana,” kata Encuk Nyaring, Kepala Desa Antutan kepada kami.
Adakah kisah baik tentang plasma?
Sejauh ini, sulit menemukan kasus praktik kerja sama perusahaan dan petani plasma yang setara, transparan dan saling menguntungkan.
Namun, Ecosoc Right pernah menuliskan praktik pengembangan perkebunan sawit yang cukup menyejahterakan petani saat mereka mendapat dukungan dari pemerintah daerah, dan perusahaan negara.
Ini terjadi di Desa Rantau Bertuah, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Desa ini adalah desa eks-transmigrasi Hutan Tanam Industri (HTI) yang gagal karena ditelantarkan oleh perusahaan pengelolanya. Dus, diikutsertakan program pembangunan kebun sawit untuk rakyat.
Pada 1993-1994, sebanyak 300 keluarga transmigran mulai menempati Desa Rantau Bertuah. Mereka mendapat jatah lahan satu hektare per keluarga dari pemerintah dan seperempat hektare untuk rumah “termasuk pekarangan yang bisa ditanami”.
Lahan mereka sempat ditanami tanaman tahunan seperti karet, akasia dan sawit oleh perusahaan melalui pola kemitraan, tapi gagal karena kurang perawatan.
Selama sepuluh tahun terombang-ambing ketidakjelasan dari hasil perkebunan ini, ada warga yang mulai frustasi, menjual lahannya, lalu meninggalkan desa.
Saat terjadi pemekaran daerah, Pemerintah Kabupaten Siak menggelontorkan apa yang disebut sebagai program “pemberdayaan ekonomi kerakyatan”.
Pemerintah Daerah menggandeng perusahaan negara untuk urusan pengelolaan lahan.
“Mereka tahu mereka tak mahir dalam mengelola, untuk pelaksanaan pekerjaan dipercayakan kepada PTPN V. Berhasil tahun 2004/2005 ditanam pola itu,” kata Muhammad Muslim Saragih, mantan ketua Koperasi Sumber Rezeki yang menaungi pengelolaan petani sawit di Desa Rantau Bertuah.
Pembayaran kredit pembangunan dan perawatan kebun sawit dilakukan secara tanggung renteng melalui pemotongan hasil panen sebesar 30%.
Mulai 2012, pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada koperasi. Enam tahun setelahnya, hutang itu lunas.
“Artinya kita kelola sampai sekarang bersama dengan masyarakat, dengan kelompok, dengan anggota,” kata Muslim.
Di tengah harga sawit yang sedang melambung belakangan ini, “Ada yang pendapatan kotornya Rp21 juta dengan cuma dua hektare itu sebulan.”
“Kalau kita lihat mulai dari anak sekolah, sekarang rata-rata anak kuliah. Bangunan rumah, dulu kan dia papan 6×6 meter, semua beralih menjadi bangunan yang layak. Kemudian dulu, mobil cuma satu, sekarang mobil berserak di dalam itu,” tambah Muslim.
Kisah ini menjadi contoh bagaimana plasma dapat membantu kesejahteraan masyarakat lokal. Salah satu faktor utama dalam kesuksesan ini, menurut Ecosoc Right, adalah keterlibatan pemerintah sebagai fasilitator. Seperti yang diungkapkan Muslim, “Pemda Siak sangat serius.”
Grafik oleh Aghnia Adzkia, Arvin Supriyadi, Ayu Idjaja, dan Davies Surya.
Laporan ini adalah bagian dari seri “Laporan Khusus: Janji plasma dari Buah Emas”, sebuah proyek kolaborasi oleh BBC, The Gecko Project, dan Mongabay.
Sumber tulisan ini dari www.bbc.com – https://www.bbc.com/indonesia/dunia-61519343