APPKSI – Akibat pandemi Covid-19, perekonomian di Bali yang bergantung dengan sektor pariwisata mengalami tekanan yang signifikan. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Hal ini mendorong masyarakat Bali, khususnya di Nusa Lembongan, kembali menekuni usaha budi daya rumput laut yang telah turun-temurun dilakukan sejak tahun 1984.
Minat masyarakat akan budi daya rumput laut semakin tinggi, mengingat perkembangan Industri rumput laut di dalam negeri tidak bisa lepas dari dukungan ketersediaan pasokan bahan baku yang berasal dari hasil produksi kegiatan budi daya rumput laut.
Dalam kunjungannya ke Provinsi Bali, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang didampingi oleh Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Musdhalifah Machmud beserta Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto, Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Peternakan dan Perikanan Pujo Setio, berkesempatan meninjau lokasi budi daya rumput laut di Desa Lembongan, Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali, Sabtu (12/08).
Dalam kesempatan mengunjungi desa nelayan tersebut, Menko Airlangga menyempatkan diri untuk berbincang dengan para pembudi daya. Turun langsung ke lahan budi daya rumput laut dengan dipandu oleh Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) dan Pembudidaya Rumput Laut Nusa Lembongan Wayan Ujiana, Menko Airlangga langsung mempraktekkan cara budi daya rumput laut.
Nusa Lembongan memiliki potensi lahan budi daya rumput laut seluas 157 Ha. Lahan tersebut baru dimanfaatkan sekitar 40%, dengan produksi 160 ton kering per bulannya. Lokasi budi daya rumput laut di Nusa Lembongan ini sudah dicanangkan sebagai program kampung perikanan budi daya rumput laut oleh Pemerintah.
Awalnya, jumlah pembudi daya rumput laut mencapai 500 orang yang tergabung dalam 18 kelompok. Namun seiring dengan bangkitnya kembali sektor pariwisata pasca pandemi, masyarakat Nusa Lembongan, khususnya para pemuda, banyak yang kembali menekuni profesi di dunia pariwisata, sehingga saat ini ada sekitar 300 pembudi daya.
Saat pandemi, harga rumput laut mengalami peningkatan sehingga berdampak secara signifikan terhadap perekonomian masyarakat di Nusa Lembongan. Harga rumput laut saat itu mencapai Rp49.000 per kg, tiga kali lipat dari harga rata-rata saat ini. Meski demikian, Masyarakat Nusa Lembongan bertekad tidak akan meninggalkan kembali budi daya rumput laut karena telah terbukti dapat menjadi andalan usaha di saat sektor pariwisata mengalami penurunan seperti saat pandemi Covid-19.
Wayan Ujiana juga menyampaikan bahwa saat ini para petani sedang membutuhkan ketersediaan bibit baru. “Untuk kebutuhan bibit, selanjutnya akan ditangani dan segera dikoordinasikan,” ungkap Menko Airlangga.
Hasil produksi rumput laut Nusa Lembongan umumnya dikirim ke Surabaya untuk diekspor, serta untuk memasok kebutuhan bahan baku industri pengolah rumput laut di dalam negeri.
Pengembangan industri rumput laut nasional yang berdaya saing dan berkelanjutan tentunya akan dapat menjadi penghela tumbuhnya ekonomi masyarakat pesisir, wilayah perbatasan, dan daerah tertinggal. Industri rumput laut tersebut akan membuka lapangan kerja, meningkatkan perekonomian daerah, dan meningkatkan kontribusi pada perekonomian nasional.
Pembudidaya rumput laut tentunya berharap adanya perhatian lebih dari Pemerintah terkait dengan stabilisasi harga, antisipasi tehadap gangguan hama penyakit, pemenuhan bibit berkualitas, dan pembinaan, serta pendampingan, baik dari Pemerintah pusat maupun daerah.