Oleh: Harvick Hasnul Qolbi
(Ketua Umum Forum Komunikasi Kerukunan Antar Suku/FK2AS)
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak sawit (palm) terbesar di dunia. Dengan produksi terkonsentrasi di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Terdapat sejumlah perusahaan sawit yang tumbuh dengan pendapatan triliunan rupiah per tahun. Ada 10 perusahaan kelapa sawit dengan pendapatan terbesar di Indonesia yang tercatat pada tahun 2020 berdasarkan data The Science Agriculture. PT Sinar Mas Agro Resources & Technology (SMART) Tbk Rp 40,3 triliun, PT Astra Agro Lestari Tbk Rp 18,8 triliun, PT Salim Ivomas Pratama Tbk Rp 14,4 triliun, PT Dharma Satya Nusantara Tbk Rp 6,6 triliun, PT Mahkota Group Tbk Rp 4,1 triliun, PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk Rp 4 triliun, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk Rp 3,5 triliun, PT Sampoerna Agro Tbk Rp 3,5 triliun, PT Bakrie Sumatra Plantations Rp 2,5 triliun, dan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk Rp 2,5 triliun.
PT Sinar Mas Agro Resources & Technology atau biasa disingkat SMART menempati urutan teratas perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Perusahaan ini mengelola lahan seluas 137.372 hektar dengan 106.428 hektar lahan produktif oleh perusahaan dan 31.304 hektar digunakan untuk lahan plasma bersama petani lokal (PIR). Tidak hanya memasok kebutuhan dalam negeri, SMART juga melakukan ekspor ke berbagai negara di Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat hingga Afrika. Pada 2021, nilai ekspor CPO menembus US$ 35 miliar.
Melihat fenomena produsen (kelapa) sawit di Indonesia sepertinya telah terbentuk ekonomi oligarki dalam penguasaan lahan untuk (kepala) sawit. Ini persepsi yang salah, karena oligarki terjadi dengan sendirinya akibat lambatnya pertumbuhan ekonomi rakyat untuk bersama-sama mengiringi kaum kapitalis dalam mengembangkan lingkungan sawit Indonesia. Dikotomi produsen besar dan petani sawit rakyat seharusnya tidak ada dan tidak akan pernah ada. Pemerintah seolah-olah selalu kalah bersaing dengan kaum kapitalis dalam mengelola perkebunan kelapa sawit Indonesia karena petani kecil dan penyuluh pertanian kelapa sawit khususnya belum teredukasi dengan baik dan optimal. Regulasi memerlukan pemikiran dari akademisi/pakar perkebunan kelapa sawit serta produsen praktisi kelapa sawit yang telah berhasil menikmati bisnis kelapa sawit di Indonesia sendiri untuk bahu membahu menumbuhkan sektor industri perkebunan sehingga dapat menjadi penyeimbang dalam menghadapi ekonomi liberal global secara langsung, khususnya dunia kelapa sawit. Para produsen besar Dalam Negeri jangan melupakan semangat nasionalis sebagai bangsa Indonesia jatidiri bisnis mereka.
Fenomena perang Ukraina-Rusia di awal tahun 2022 membawa kerawanan/kerentanan yang sangat merugikan perekonomian Indonesia, dimana tiba-tiba harga minyak goreng di Indonesia melambung tinggi dan masyarakat mulai berteriak karena keserakahan para produsen sawit besar tersebut. Stok CPO dalam negeri tiba-tiba menghilang karena produsen tergila-gila dan terpancing harga pasar Eropa yang membutuhkan bahan baku energi non-fosil setelah Rusia menghentikan ekspor migas ke Eropa. Produsen minyak kelapa sawit Dalam Negeri kehilangan pasokan CPO sebagai bahan baku sehingga harga minyak sawit di pasaran naik karena kelangkaan pasokan (supply). Kemudian definisi “ketahanan pangan” mulai disangsikan oleh masyarakat khususnya di sektor kelapa sawit. Istilah ‘kedaulatan pangan’ tak ayal membuatnya semakin tampak sebagai kata ‘retorika’ belaka tanpa upaya yang nyata.
Banyak orang atau kelompok masyarakat yang menyalahkan bahwa ekonomi sawit di Indonesia adalah sistem ekonomi oligarki yang dibentuk oleh para produsen sawit di Indonesia, tapi stop and wait! Untuk berpikir seperti itu. Mungkin Perekonomian Rakyat yang selama ini tertinggal dan semakin tertinggal karena ketinggalan strategi -masa lalu- untuk mengikutsertakan pengembangan petani kecil dalam tahap pengembangan skala ekonomi (economic scale) produksi kelapa sawit. Ada benarnya para kapitalis pada pemerintahan sebelumnya didorong lebih dulu sehingga Indonesia menjadi produsen sawit nomor satu dunia.
Kini saatnya Indonesia berkonsentrasi membuat program perimbangan bersama dengan pergerakan ekonomi kapitalis. Menggiatkan kembali Program PIR (Plasma Inti Rakyat) dan mengawal pelaku usaha sawit dengan regulasi yang mengajak masyarakat untuk melek dalam bisnis pertanian khususnya sawit Indonesia. Bahkan kembali memberdayakan KUD -sebagai salah satu infrastruktur pembangunan desa- untuk mengiringi ritme bisnis para pengusaha padat modal ini.
Tidak ada salahnya, dari para produsen sawit besar saat itu -dalam hal ini pemerintah saat itu- tidak harus menunggu rakyat? karena sekali lagi saat itu dibutuhkan “kecepatan (speed)” untuk memasuki pasar potensial minyak sawit dunia. Para akademisi di bidang kelapa sawit tentunya telah berkontribusi menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Masyarakat saat itu terlantar sementara karena belum siap mendidik diri sendiri untuk menguasai kompetensi baru di bidang teknologi dan pemasaran kelapa sawit.
Saat ini, Pemerintah menanggung beban keputusan regulasi masa lalu yang membuat petani kelapa sawit rakyat tertinggal dan bahkan menghilang. Pemerintah kini terus mengejar ketertinggalan lebih dari 25 tahun untuk mengejar para kapitalis (produsen swasta) yang terus subur berkembang. Sebuah konsep baru, khususnya dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia, harus segera diperkenalkan. Kelapa Sawit Indonesia saat ini membutuhkan dukungan seluruh masyarakat Indonesia, melalui kepemimpinan yang terintegrasi dari kementerian dan lembaga di Indonesia, untuk saling berkomunikasi dan bekerjasama.
Kini saatnya Kementerian Pertanian RI melalui kegiatan Wamentan RI terus membangun jalur lintas kementerian dan kelembagaan di Indonesia dalam mengkomunikasikan pembangunan “Ketahanan Pangan” -yang dilihat dari sisi output pertanian yang handal- dan yang paling penting menciptakan “Kedaulatan Pangan” -yang dilihat dari sisi proses, dimulai dari budaya dan semangat yang tertanam di seluruh petani dan pemangku kepentingannya- di Indonesia. Apalagi program “Neo-Farmer” mengajak masyarakat perkotaan untuk menjadi petani, khususnya Generasi-Y (Milenial) untuk kembali ke desa. Terbayangkan ke depan, bahwa ada berkah dan karunia dari Tuhan dari wabah pandemi Covid-19 untuk memanggil generasi milenial menjadi Petani Baru Indonesia.
Forum Komunikasi Kerukunan Antar Suku (FK2AS) suatu organisasi atau lembaga yang mewadahi forum komunikasi nasional yang mewakili elemen masyarakat dalam menyumbangkan pemikiran dan menyuarakan kepentingan masyarakat dalam berbagai aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, tentunya wajib turut memikirkan hal (dampak) ini dengan mengusulkan desain baru atau kombinasi dari berbagai konsep kebijakan terkait Regulasi dan Tata Kelola Kelapa Sawit Indonesia.
FK2AS berkewajiban mengawal berdirinya RUMAH SAWIT INDONESIA yang independent atau mandiri. Dalam hal ini, FK2AS akan menyiapkan kajian akademik yang meliputi konsep organisasi, sumber daya manusia, pola distribusi, off taking hingga tata kelola organisasi bekerja sama dengan atau sebagai counterpart dengan lembaga/kementerian atas nama bangsa dan negara dalam hal ini Ditjen BUN. FK2AS menyiapkan kerangka dasar RUMAH SAWIT INDONESIA sebagai wadah bagi seluruh komunitas bisnis kelapa sawit di Indonesia termasuk produsen besar, pelaku bisnis, petani/pekebun, regulator, pengawas, komunitas petani dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya.
Ketua Umum FK2AS, mengajak seluruh pemangku kepentingan lingkungan sawit di Indonesia untuk bahu membahu membangun ekosistem sawit Indonesia melalui RUMAH SAWIT INDONESIA (RSI) yang mengintegrasikan petani sawit rakyat dengan produsen sawit besar di seluruh Indonesia.
Artikel ini memang sengaja dibuat hanya sebagai “Bab Pendahuluan” saja, sebagai ide pemikiran untuk memicu (sebagai trigger) apa yang perlu dikembangkan lebih lanjut di masa depan. Jangan menunggu waktu, kegemilangan kelapa sawit Indonesia akan semakin terlihat di masa depan jika persatuan dan kesatuan serta komunikasi dan harmoni/kerukunan antar bangsa dibangun mulai sekarang. Salam “Kedaulatan Pangan” dari kami, Ketum FK2AS sekaligus dalam kapasitas sebagai “Wakil Menteri Pertanian Republik Indonesia.”